Kamis, 18 November 2010

"Tabea Waya!

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"

1 komentar:

Torang Pe Opa

Torang Pe Opa
Si Tou Timou Tumou Tou. Prinsip hidup Minahasa ini artinya ‘manusia hidup untuk menghidupi manusia lainnya’. Ungkapan ini mendapatkan bukti hidupnya lewat Sam Ratulangi. Setelah hidup dengan prinsip ini Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie meninggalkan bangsa ini untuk selamanya pada usia 59 tahun (1890-1949). Sebelumnya, dari tempat pembuangannya di Serui, Papua Barat, Sam Ratulangi diterbangkan tentara Sekutu ke Yogyakarta pada tanggal 5 April 1948. Setahun kemudian pada tanggal 30 Juni 1949 ia wafat di Jakarta karena kesehatannya memburuk . Jenasah Sam Ratulangi dibawa ke Manado dengn kapal laut, kemudian di makamkan di Tondano, Minahasa (2 Agustus 1949). Sam Ratulangi adalah sosok pribadi yang kaya dengan karya kehidupan. Semangat sumekolah (baca: bersekolah) telah ia capai ‘puncak’ formalnya. Patriotisme dan nasionalismenya telah ia buktikan dalam kiprah perjuangannya sejak di Persatuan Minahasa, volksraad (Dewan Rakyat) dan Gubernur Sulawesi (1945-1949). Hidup lewat tulisan Intelektualitasnya bagi pencerdasan bangsa yang lebih luas dipersembahkannya melalui majalah Nationale Commentaren dan Penindjauan. Ia juga rajin menulis di Mingguan Menara (1933), dan menulis buku Indonesia in den Pacific, kernproblemen van den Aziatischen Pacific (Batavia, 1937, 151 halaman). Mieke Schouten (1981) dalam Minahasa and Bolaang Mongondow, an Annotated Bibbliography 1800-1942 (KITLV, bibliographical series 10, editied by I. Farjon) telah mendaftarkan 17 tulisan Sam Ratulangi yang dilengkapi ringkasan singkat pada masing-masing karangan tersebut. Dari daftar ini cukup jelas bahwa karya tulis Sam Ratulangi lebih banyak terdaftar antara tahun 1913-1938. Dalam periode inilah intensitas tulisan Bung Sam demikian mengagumkan. Dialah ”Doktor” pribumi pertama ilmu pasti alam (natuur philosophie) di negeri ini yang piawai menulis beragam topik dengan kredibilitas analisis. Ia membahas berbagai topik penting antara lain: stagnasi kependudukan di Minahasa, perkembangan asal-usul kata ‘Manado’, legenda-legenda bulan bintang di Minahasa, sebuah novel tentang kehidupan di Minahasa, karakter budaya Minahasa, tingginya status wanita di Minahasa dan kebiasaan-kebiasaan di Minahasa. Selain itu ia juga menulis tentang pendidikan perempuan di Minahasa, kondisi pamong praja, konflik antara kerja paksa dan nilai mapalus (kultur ‘gotong royong’ di Minahasa), reformasi administrasi desa (walak) di Minahasa, pengaruh Kristen dan peradaban Barat dalam identitas individual di Minahasa, asal usul dan metode-metode kerja asosiasi Kristen di Minahasa dan dinamika perkembangan pendidikan, anti tesis antara pemerintahan Belanda dan Indonesia dan pengaruh Perserikatan Minahasa di Sulawesi, hukum agraria/adat, tanah Kalakeran Minahasa dan perkembangan wilayah urban di Manado (Schouten, 1981). Meskipun demikian sampai saat ini relatif terbatas studi-studi yang mendalam tentang Sam Ratulangi. Diantaranya: (1) Nationalism and Regionalism in a Colonial Indonesia: Minahasa in the Dutch East Indies karya David E.F. Hanley (Australia National University, 1996). (2) Migrant Moralities: Christians and Nationalist Politics in Emerging Indonesia, a biographical approach karya Gerry van Klinken, (University of Griffith, Brisbane-Australia, 1996). Karya Gerry van Klinken secara khusus mengulas pergumulan perjuangan dan gagasan Sam Ratulangi lewat tinjauan biografis. Selain itu sampai kini, kita bisa mengakses kurang lebih 13 tulisan -–dalam Bahasa Indonesia–, berupa paper dan artikel yang meninjau tentang sosok Sam Ratulangi, tentang kiprah perjuangan dan gagasan-gagasannya, serta beberapa buku kecil dalam format biografis. Karena keluasan wawasan pengetahuan dan visi hidup yang dipatrikannya selama ini sebagian besar dalam bentuk tertulis, maka kita dapat ‘membacanya’ setiap saat, dan tak akan menemui kesulitan berarti dalam mengeksplorasinya lebih dalam. Tak pernah tampak ‘citra mitologis’ dalam sosok pribadi Sam Ratulangi. Semuanya ‘terbuka’ untuk dipelajari dari generasi ke generasi, lembar demi lembar dari seluruh tulisan dan pidato-pidatonya. Nasionalisme futuristik Sam Ratulangi adalah sosok yang berhasil mensintesa dan mentransformasi aspek lokalitas (primordial) dalam bangunan nasionalisme Indonesia moderen. Membaca semangat ini, Dr. Th. Sumartana (1997) menulis: “…visi nasional harus benar-benar berakar dari kepentingan dan visi daerah. Berawal dari daerah, maka visi nasional dibangun”. Visi nasionalisme futuristik yang dikembangkan Sam Ratulangi disebut George Aditjondro (1985) sebagai ‘Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik’. Atau dalam bahasa Dr. Daniel Dhakidae dalam 1000 Tahun Nusantara (2000, hal. 631), ia menyebut Sam Ratulangi sebagai ‘Pijar-Pijar Bintang Kejora dari Timur”. Ditinjau dari aspek praktisnya, gagasan-gagasan Sam Ratulangi dalam Nationale Urgentie Program hingga kini masih relevan. Menurutnya, Indonesia memiliki keharusan dan kemampuan untuk membangun kesejahteraan ekonominya melalui: konsolidasi demokrasi daerah otonom, perimbangan anggaran belanja dan pendapatan negara, nasionalisasi pengembangan dan konsolidasi sistem pendidikan, pengembangan pertanian rakyat, perikanan dan modernisasi industri rakyat dengan dasar koperasi. Semua ini bisa dicapai karena adanya keunggulan khas ekonomi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia. Menurutnya posisi geografis Indonesia yang terletak ‘di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi bagi dunia’, kaya sumberdaya alam, luasnya tenaga kerja, iklim yang mendukung dan adanya modal keuangan yang cukup (Adwin Ratulangi, 1999). Salah satu idealisme politiknya yang mendasar tentang orientasi politik bernegara di Indonesia tercatat dalam Risalah sidang BPUPKI (terbitan Mensetneg R.I, 1992) mengenai konstitusi, dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu hal eksplisit tentang posisi daerah dalam sistem pemerintahan diungkapkannya sebagai berikut: “…Supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurusi keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia, dari satu negara…” Pandangan ini, lebih lanjut sering dikutip oleh tokoh LSM Bert Andrian Supit (2001) berdasarkan dokumen Nini Sugandi-Ratulangi bahwa dalam suatu wawancara di tahun 1949 Sam Ratulangi berkata:”…bahwa dalam Kongres Pasoendan yang diselenggarakan di Buitenzorg (Bogor), di tahun 1930 saya diundang untuk memberikan suatu pandangan pemikiran saya tentang bentuk ketatanegaraan Indonesia atas dasar prinsip federalistik. Saya ini adalah seorang penganut bentuk struktur federalistik bagi Indonesia merdeka yang mengusung satuan-satuan territorial federasi, agar satuan-satuan ini secara politis-psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh…” Substansi kutipan di atas akan lebih dimengerti kalau merujuk pada tulisan-tulisan Sam Ratulangi sejak tahun 1929 yang secara luas dapat dibaca dalam studi David Hanley (1996: 117-140). Ia telah menggunakan kata “desentralisasi” (decentralisatie dalam Staatblad 64 tahun 1919) dan “wilayah otonom” yang diinginkannya untuk wilayah Minahasa. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan historis, etnik dan demarkasi sosial budaya, serta dengan memperhitungkan kapasitas partisipasi penduduk Minahasa dalam pemilihan pimpinan pada setiap perkumpulan yang ada. Federasi politik berdasarkan unit-unit teritorial sebagai kerangka awal yang penting dirumuskan karena adanya bangsa-bangsa yang beragam (pidato Sam Ratulangi 1928). Jadi, argumentasi tentang “federalisme” tidaklah pantas dilihat sebelah mata, sebagai sebuah ekspresi minor dalam sejarah pertumbuhan gagasan politik-kenegaraan di Indonesia. Meskipun tidak pernah sepenuhnya menjadi mainstream politik Indonesia, tetapi perspektif federalistik perlu dipahami konteks historisnya, dan mempertimbangkan dimensi-dimensi masa depannya, setidak-tidaknya kalau kita menggali kembali pemikiran Sam Ratulangi dan Bung Hatta. Kedua tokoh ini dalam narasi utama (grand narration) Indonesia cenderung dikesankan sebagai tokoh ‘luar’ tanah Jawa yang menggunakan argumen ‘kedaerahan’ secara ilmiah dalam perdebatan politik. ‘Wawasan kedaerahan’ yang cerdas dijelaskan Sam Ratulangi dalam dinamika gerakan nasionalisme Indonesia sebelum kemerdekaan. David Hanley (1996) menyebut kondisi ini sebagai ‘regional nationalism’. Sebuah nasionalisme ideal yang dibangun di atas keteguhan sikap ‘nasionalisme bangsa Minahasa’ (demikian tulisan Sam Ratulangi dan F. Laoh tahun 1917). Seluruh gagasan Sam Ratulangi bila dimengerti secara mendalam sesungguhnya bukanlah ekspresi radikal bagi bangsa Indonesia, sebab keaslian ide-idenya didasarkan pada kenyataan objektif yang ada dan kondisi-kondisi masa depan yang dibutuhkan. Atas pijakan itulah maka gagasan dan praktik nasionalisme yang dikembangkan Sam Ratulangi tidak pernah dilakukan dalam sebuah bentuk kekerasan dan militansi sebagaimana ditampilkan oleh Perserikatan Minahasa. Adalah menarik pula untuk mempelajari lebih lanjut wawasan-wawasan Sam Ratulangi yang lain, misalnya tentang posisi dan kontribusi agama-agama dalam pergumulan kebangsaan, tentang gerakan komunitas Islam misalnya (baca: Titik Balik Sejarah, Th. Sumartana, 1997). Sam Ratulangi benar-benar menjadi personifikasi bangsa Minahasa sejak 1924 sebagai sosok manusia ultra modern yang sangat sukses sebagai intelektual dan pemimpin. Singkat kata, dialah yang dikenal sebagai ‘Bapak Minahasa’. Dialah simbol kunci dari sebuah ‘moral komunitas’ dari sebuah bangsa yang hendak mengukuhkan harga diri dan jati dirinya. Peran keaktoran Sam Ratulangi dan ekspresi gagasan-gagasan dia tentang ke-Minahasa-an dalam konstruksi kebangsaan Indonesia amat mendasar untuk dipelajari dan dipahami. Dalam hemat saya, hanya dengan membaca naskah-naskah tulisan Sam Ratulangi sendiri secara langsung (antara lain: Ratulangie, 1920-1924, Tjahaja Sijang, 1923, Fikiran, 1930 dan Nationale Commentaren 1937-1942), barulah kita benar-benar bisa merasakan dan memahami maksud-maksud substantifnya, karena aspek-aspek tekstual ini bukanlah sekedar retorika tulisan, atau sekedar rangkaian pidato yang ditranskripsi. Peran penting tokoh-tokoh Minahasa dan kekuatan diaspora sosial-politiknya sejak 1920-an dalam wacana dan pergerakan kebangsaan Indonesia hanya mungkin muncul karena adanya prasyarat intelektualitas, organisasi, publikasi, idealisme komunitas, kosmopolitanisme dan kepemimpinan yang mumpuni. Prediksi Perang Pasifik Di tahun 1937 Sam Ratulangi hidup di penjara selama 4 bulan, dan setelah itu di-skors 3 tahun dari Volksraad. Dalam suasana inilah, Sam Ratulagi menulis buku Indonesia in den Pacific dan terbit selepas dari penjara. Penting dicatat bahwa walaupun tradisi menulis memang intensif dilakukan banyak tokoh Indonesia, apalagi seorang Sam Ratulangi yang memang adalah penulis (jurnalis), tetapi Indonesia in den Pacific itu agak beda dengan yang lainnya, yakni pada pendekatan akademiknya. Ini terasa pada fokus masalah yang ditulis, sistematika penulisan, penggunaan data dan referensi, analisis dan kesimpulan-kesimpulan akhir yang dicapainya. Sam Ratulangi menggunakan sebanyak 26 pustaka dengan kutipan yang sangat ketat. Sam Ratulangi telah dengan konsisten sedemikian rupa menggunakan data yang memadai dalam membangun argumentasinya tentang kondisi dunia pada saat itu, khususnya posisi Asia Pasifik dan peranan Jepang yang signifikan secara politik dan ekonomi. Pandangan-pandangan politik internasional Sam Ratulangi tergolong visioner dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya saat itu. Ia dengan mengagumkan menjadikan tema-tema internasional, tentang kemungkinan Perang Pasifik dan pergeseran gerakan ekonomi dunia terutama, dalam berbagai tulisan dan pidatonya sejak 1928. Karya ini mengabsahkan wawasan Pasifik dalam pendekatan ilmiah di Indonesia. Kita nyaris melupakan bahwa kajian ekonomi dan politik internasional juga dimulai dari seorang Sam Ratulangi. Artefak intelektual Sam Ratulangi lainnya yang tak bisa dilupakan adalah bahasan-bahasan dia pada majalah mingguan yang didirikannya di Bandung, Nationale Commentaren, 8 Desember 1937. Secara teknis maupun substansinya, sangat jelas bahwa majalah ini mengukuhkan integritas keintelektualan, komitmen kebangsaan dan visi perjuangan Sam Ratulangi mempersiapkan Indonesia merdeka; sekaligus menjelaskan arah dan gagasan-gagasan yang kokoh tentang bagaimana seharusnya sebuah bangsa merdeka membangun martabat diri dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sejak 1937 sampai 1942 Nationale Commentaren menjadi ‘corong suara’ yang penting bagi gerakan kalangan nasionalis Indonesia (Hanley, 1996:123). Ini sangat terlihat bagaimana peran Nationale dalam mempublikasi kritikan dan perdebatan antara Volksraad dengan pihak Kolonial (Mrazek, 2002: 183-184). Gerakan ‘pencerdasan’ yang dilakukan Sam Ratulangi patut diulas ulang. Betapa tidak, Nationale Commentaren sangat sarat dengan analisa politik, ekonomi dan kebudayaan dengan sengaja ia peruntukkan sebagai sarana pertukaran gagasan para pemikir dan pejuang ketika itu. Hampir tak bisa diragukan bahwa majalah ini telah sukses menjembatani peran seluruh cendekiawan Indonesia dari berbagai kalangan dengan mutu bahasa yang tinggi dan ulasan-ulasan yang cerdas. Nationale Commentaren dapat terbit sebanyak 215 edisi selama 5 tahun dengan total seluruh halaman sampai akhir terbitan tahun ke-5 nomor 7 sebanyak 4.185, dan dicetak 1500 eksemplar setiap terbitannya. Setelah itu, majalah ini tidak terbit lagi karena dibubarkan penguasa Jepang (Sigarlaki & Manus, 1981; Dhakidae, 2000). Lewat tulisan dan hidupnya Sam Ratulangi menulis ulang Si Tou Timou Tumou Tou. Dalam hidup tak ada yang begitu ia khawatirkan, termasuk hidupnya sendiri, tetapi ada satu yang ia jelas khawatirkan sebagai bangsa. ‘Sebuah bangsa jangan sampai kehilangan cita-cita’. Antara hidup dan cita-cita seorang manusia tergambar jelas cita-cita bersama. Ketika sebuah bangsa kehilangan cita-cita, maka manusia atau individu di dalamnya menjadi individu yang tercerai berai. Atau dalam bahasa yang lain, Si Tou Timou Tumou Tou kehilangan konteks atau kerangka bergerak.

Burung Manguni

Burung Manguni
Burung manguni atau burung hantu diyakini sebagai burung istimewa oleh penduduk Minahasa. Burung ini dianggap mempunyai tugas khusus dalam menjaga keselamatan umat manusia. Itulah sebabnya daerah-daerah pemekaran Kab. Minahasa masih menggunakan burung ini sebagai lambang daerahnya. Burung Manguni diyakini sebagai salah satu ciptaan oleh Roh atau Opo paling atas yang menguasai langit dan bumi. ‘Opo Empung Wananatas’ menugaskan kepada burung Manguni (mauni : mengamati) untuk menjaga keselamatan anak-cucu Toar-Lumimuut, berjaga-jaga pada malam hari, tidak boleh tidur dan diberi kemampuan bunyi siul berbeda untuk signal aman atau bahaya. Burung hantu sendiri amat dikenal karena matanya besar dan menghadap ke depan, tak seperti umumnya jenis burung lain yang matanya menghadap ke samping. Bersama paruh yang bengkok tajam seperti paruh elang dan susunan bulu di kepala yang membentuk lingkaran wajah, tampilan ‘wajah’ burung hantu ini demikian mengesankan dan terkadang menyeramkan. Apalagi leher burung ini demikian lentur sehingga wajahnya dapat berputar 180 derajat ke belakang.

Tarsius

Tarsius
adalah suatu jenis primata kecil, memiliki tubuh berwarna coklat kemerahan dengan warna kulit kelabu, bermata besar dengan telinga menghadap ke depan dan memiliki bentuk yang lebar. Nama Tarsius diambil karena ciri fisik tubuh mereka yang istimewa, yaitu tulang tarsal yang memanjang, yang membentuk pergelangan kaki mereka sehingga mereka dapat melompat sejauh 3 meter (hampir 10 kaki) dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius juga memiliki ekor panjang yang tidak berbulu, kecuali pada bagian ujungnya. Setiap tangan dan kaki hewan ini memiliki lima jari yang panjang. Jari-jari ini memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar yang digunakan untuk grooming. Yang paling istimewa dari Tarsius adalah matanya yang besar. Ukuran matanya lebih besar jika dibandingkan besar otaknya sendiri. Mata ini dapat digunakan untuk melihat dengan tajam dalam kegelapan tetapi sebaliknya, hewan ini hampir tidak bisa melihat pada siang hari. Kepala Tarsius dapat memutar hampir 180 derajat baik ke arah kanan maupun ke arah kiri, seperti burung hantu. Telinga mereka juga dapat digerakkan untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Tarsius adalah makhluk nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari dan tidur pada siang hari. Oleh sebab itu Tarsius berburu pada malam hari. Mangsa mereka yang paling utama adalah serangga seperti kecoa, jangkrik, dan terkadang reptil kecil, burung, dan kelelawar. Habitatnya adalah di hutan-hutan Sulawesi Utara hingga Sulawesi Selatan, juga di pulau-pulau sekitar Sulawesi seperti Suwu, Selayar, dan Peleng. Tarsius juga dapat ditemukan di Filipina. Di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan, Tarsius lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “Balao Cengke” atau “tikus jongkok” jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia. Tarsius menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon. Hewan ini menandai pohon daerah teritori mereka dengan urine. Tarsius berpindah tempat dengan cara melompat dari pohon ke pohon. Hewan ini bahkan tidur dan melahirkan dengan terus bergantung pada batang pohon. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, mereka melompat ketika berada di tanah.

Total Tayangan Halaman



Encuesta

perhimpunanmahasiswaminahasa@yahoo.com Perhimpunan Mahasiswa Minahasa
Free Blog Themes and Blog Templates